Setiap beberapa bulan sekali, muncul gelombang baru yang menyapu dunia usaha. Kadang berupa minuman kekinian. Kadang berupa kelas bisnis online. Kadang berupa jargon “digitalisasi UMKM”. Semua datang seperti arus deras — cepat, bising, dan penuh janji.
Tapi seperti ombak di pantai, arus itu juga cepat surut. Yang tersisa hanyalah jejak tren, bukan struktur. Padahal, ekonomi yang kokoh tak dibangun dari tren yang viral, tapi dari struktur yang bisa dipercaya.
1. Mengapa Kita Selalu Terjebak Tren
Tren adalah cermin dari rasa ingin ikut — ikut ramai, ikut relevan, ikut tidak tertinggal. Tapi di balik antusiasme itu, ada satu hal yang hilang: arah bisnis jangka panjang. Sebagian besar pelaku usaha kecil di Indonesia memulai bisnis karena melihat peluang instan, bukan karena melihat kebutuhan berkelanjutan.
Misalnya, ketika minuman boba sedang naik, ratusan kedai boba baru bermunculan. Begitu tren bergeser ke kopi susu, banyak yang menutup dan berganti konsep. Polanya berulang — dari roti bakar ke dessert box, dari sambal kemasan ke minuman herbal.
Data dari Badan Pusat Statistik (BPS, 2023) menunjukkan bahwa lebih dari 75% UMKM Indonesia tidak bertahan lebih dari lima tahun. Sebagian besar karena kehilangan pasar, margin menipis, dan tidak mampu beradaptasi setelah tren mereda. Artinya, akar masalah kita bukan kurang ide, tapi terlalu cepat berpindah tanpa membangun pondasi.
2. Dari Budaya Dagang ke Budaya Bangun
Dulu, bisnis di Indonesia berakar pada hubungan jangka panjang. Seorang pedagang tempe mengenal pembelinya, seorang pengrajin kayu mengenal pelanggannya, dan kepercayaan menjadi mata uang yang lebih berharga daripada rupiah.
Kini, hubungan itu tergantikan oleh algoritma. Kita tidak lagi menjual pada orang yang kita kenal, tapi pada orang yang kebetulan melihat iklan kita di layar. Hubungan bisnis menjadi transaksional — cepat, efisien, tapi rapuh. Sekali harga turun atau tren berubah, kepercayaan itu lenyap.
Padahal, ekonomi yang sehat butuh struktur sosial kepercayaan. Francis Fukuyama dalam Trust: The Social Virtues and the Creation of Prosperity (1995) menulis bahwa peradaban ekonomi tumbuh ketika masyarakat punya “trust surplus” — rasa percaya yang menembus batas transaksi. Dan di situlah letak masalah besar kita: ekonomi kita masih berbasis trust deficit.
3. Kapitalisme yang Kehilangan Kepercayaan
Kita sedang hidup di babak baru kapitalisme — kapitalisme yang kehilangan wajah manusianya. Semua ingin menjual, tapi sedikit yang bisa dipercaya. Semua ingin cepat tumbuh, tapi lupa membangun akar yang dalam.
Brand berlomba membangun personal branding, bukan personal integrity. Kelas bisnis menjual cara cepat kaya, bukan cara berpikir yang benar. Kita dipaksa percaya bahwa semua hal bisa diselesaikan dengan marketing, padahal marketing tanpa fondasi adalah ilusi.
Bahkan dalam dunia digital, yang katanya transparan, kita justru semakin kabur membedakan antara yang otentik dan yang estetis. Kejujuran kini menjadi barang mahal — seperti mata uang langka di pasar global yang dikuasai persepsi.
4. Dari Tren ke Struktur: Belajar dari Pola yang Bertahan
Kalau kita berhenti sejenak, lalu menengok ke perusahaan yang mampu bertahan puluhan tahun — baik di level besar maupun kecil — selalu ada satu kesamaan: struktur bisnis yang mapan.
Struktur bukan berarti birokrasi rumit, tapi sistem yang membuat nilai bisa diwariskan. Restoran kecil yang bisa bertahan lintas generasi bukan karena resepnya paling unik, tapi karena sistem operasionalnya sederhana, tertib, dan bisa diulang. Bisnis yang kuat bukan yang paling viral, tapi yang paling bisa diaudit.
Dan menariknya, banyak struktur lokal sebenarnya sudah punya akar di budaya kita. Di Jawa, ada sistem paron — bagi hasil adil antara pemilik lahan dan penggarap. Di Minangkabau, ada kongsi dagang berbasis keluarga. Di Bali, ada sekaa — komunitas produksi dan distribusi berbasis gotong royong.
Artinya, struktur ekonomi yang bisa dipercaya sebenarnya bukan hal baru, kita hanya kehilangan keberanian untuk kembali menghidupkannya dalam bentuk yang modern.
5. Membangun Ekonomi yang Bisa Dipercaya
Lalu, bagaimana caranya?
Pertama, mulailah dari struktur yang sederhana tapi jujur.
Catat keuangan dengan benar. Laporkan biaya apa adanya. Kejujuran dalam angka jauh lebih penting daripada keindahan presentasi. Seperti kata Peter Drucker, “You can’t manage what you don’t measure.”
Kedua, bangun sistem berbasis tanggung jawab, bukan sekadar target.
Tim yang tumbuh dari rasa saling percaya akan jauh lebih tahan banting daripada tim yang hanya mengejar KPI. Karena KPI bisa dimanipulasi, tapi rasa tanggung jawab tidak bisa dipalsukan.
Ketiga, jadikan transparansi sebagai nilai jual.
Bisnis yang berani membuka dapurnya — bagaimana mereka menghitung harga, bagaimana mereka memperlakukan karyawan — akan punya nilai moral lebih tinggi daripada kompetitor yang hanya menjual narasi.
6. Dari Kecepatan Menuju Keberlanjutan
Kita terlalu lama hidup dalam paradigma “yang penting cepat”. Padahal, yang cepat belum tentu selamat, dan yang lambat belum tentu tertinggal. Ekonomi yang bisa dipercaya dibangun bukan oleh orang yang paling viral, tapi oleh orang yang paling konsisten.
Mari berhenti sejenak dari lomba menjadi yang pertama, dan mulai lomba menjadi yang paling bisa diandalkan. Karena dalam jangka panjang, reputasi bukan dibangun dari seberapa cepat kamu tumbuh,
tapi dari seberapa lama orang mau tetap percaya padamu.
Di balik semua strategi, sistem, dan inovasi digital, satu hal tetap menjadi inti: kepercayaan.
Dan kepercayaan hanya bisa hidup dalam struktur yang jujur, terbuka, dan berkelanjutan.
Ekonomi Indonesia tidak butuh lebih banyak tren. Kita butuh lebih banyak struktur bisnis yang mapan.
Dan struktur itu, pada akhirnya, dibangun bukan dari teknologi — tapi dari karakter para pelaku usaha yang terlibat dalam ekosistem bisnis yang lebih besar.
