Bukan Semua yang Viral Itu Influencer: Inilah Bedanya dengan Buzzer

Bukan Semua yang Viral Itu Influencer: Inilah Bedanya dengan Buzzer

Di Indonesia, kata “influencer” dan “buzzer” sering dipakai bergantian, bahkan dianggap sama. Padahal, keduanya memiliki DNA berbeda: influencer tumbuh dari konten dan kredibilitas, sementara buzzer lahir dari kepentingan instan dengan tujuan pragmatis.

Membedakan keduanya penting, karena dampak sosial dan politiknya berbeda. Influencer bisa membangun komunitas, edukasi, dan ekonomi kreatif. Sementara buzzer, jika tidak transparan, justru bisa menciptakan polarisasi, hoaks, dan trust deficit.


✦ Identitas & Motivasi

  • Influencer:
    • Membangun identitas publik nyata dengan nama & wajah asli.
    • Motivasi awal biasanya berkarya, berbagi, dan membangun komunitas.
    • Monetisasi muncul kemudian lewat endorse, sponsor, produk sendiri.
  • Buzzer:
    • Sering anonim, menggunakan akun palsu atau jaringan akun bot.
    • Motivasi utama: uang instan atau agenda tertentu.
    • Tidak peduli komunitas jangka panjang, fokus pada target sesaat.

✦ Cara Kerja

  • Influencer: konsisten bikin konten sesuai niche (kuliner, beauty, politik, edukasi). Kepercayaan audiens dibangun lewat interaksi jangka panjang.
  • Buzzer: bekerja dengan “order” → menyebarkan narasi, hashtag, atau opini sesuai arahan pihak yang membayar.

Contoh: kampanye trending di Twitter yang muncul tiba-tiba dengan ribuan akun seragam → tipikal operasi buzzer, bukan organik influencer.

✦ Transparansi vs Anonimitas

  • Influencer: bisa ditelusuri jejaknya, terbuka kolaborasi dengan brand, punya rekam jejak publik.
  • Buzzer: sulit ditelusuri, sering bekerja di bawah jaringan agensi politik atau shadow network.

Kondisi ini yang membuat influencer bisa akuntabel, sedangkan buzzer sering lepas dari tanggung jawab.

✦ Dampak Publik

  • Influencer:
    • Memberi inspirasi gaya hidup, mempromosikan produk lokal, edukasi finansial, hingga mendorong donasi.
    • Bisa menggerakkan komunitas ke arah yang positif.
  • Buzzer:
    • Cenderung menciptakan kebisingan digital.
    • Bisa memicu polarisasi politik, menyebarkan hoaks, atau merusak reputasi seseorang/brand.
    • Dampaknya jangka panjang: menurunkan kepercayaan publik terhadap informasi di media sosial.

✦ Studi Kasus di Indonesia

  • Influencer: Raditya Dika (transformasi dari komedi → edukasi keuangan), Habib Ja’far (konten religi toleran), Jerome Polin (edutainment). Semua membangun komunitas loyal.
  • Buzzer: Operasi akun anonim politik menjelang Pemilu 2019 & 2024, yang menggunakan ribuan akun bot untuk membanjiri opini publik. Studi oleh University of Oxford menyebut Indonesia termasuk negara dengan penggunaan “cyber troops” dalam politik digital.

✦ Kesimpulan

Menyamakan influencer dengan buzzer adalah kekeliruan besar.

  • Influencer punya kapital sosial & kredibilitas.
  • Buzzer hanya punya kapital instan berbasis order.

Jika influencer adalah arsitek opini organik, maka buzzer adalah alat amplifikasi narasi pesanan.

Karena itu, ketika membicarakan peta industri influencer di Indonesia, buzzer sebaiknya tidak masuk kategori utama. Mereka adalah entitas berbeda, dengan DNA, motivasi, dan dampak yang kontras.


🔍 Referensi & Sumber
  1. INSG – Indonesia Influencer Marketing Statistics 2025 (profil & engagement influencer). Link
  2. DailySocial – Menyimak Data Tren Pemasaran Influencer di IndonesiaLink
  3. ResearchGate – Era Digital: Influencer dalam Sistem Politik Indonesia (peran influencer dalam wacana publik). Link
  4. Oxford Internet Institute – Global Cyber Troops Report 2021 (Indonesia sebagai salah satu negara dengan pasukan buzzer politik). Link
  5. Kominfo – laporan penanganan hoaks & buzzer politik. Link

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *