Membedakan Konsultan Digital Abal-abal dengan Konsultan Ahlinya

Membedakan Konsultan Digital Abal-abal dengan Konsultan Ahlinya

Zaman Baru yang Membingungkan

 

Ada masa ketika seseorang baru berani menulis “konsultan” di kartu namanya setelah rambutnya mulai memutih. Ketika “nasihat” berarti akumulasi dari luka, kesalahan, dan keberhasilan yang diuji waktu. Tapi hari ini, siapa pun bisa menjadi konsultan. Syaratnya sederhana: punya pengikut ribuan, konten yang meyakinkan, dan kemampuan bicara yang menenangkan hati calon klien. Keahlian yang dulu perlu puluhan tahun ditempa, kini bisa ditiru dalam waktu beberapa minggu lewat algoritma. Di media sosial, gelar “ahli” tak lagi diberikan, melainkan diproklamirkan sendiri.

 

Kasus Fiktif yang Terlalu Nyata

 

Beberapa waktu lalu, seorang pemilik usaha minuman di Surabaya — sebut saja Rani — memutuskan untuk mencari bantuan konsultan marketing. Ia menemukan akun yang tampak meyakinkan di Instagram: desain visualnya rapi, bahasanya cerdas, pengikutnya puluhan ribu. Hampir di setiap unggahannya, terpampang angka fantastis: “Klien kami naik omzet 300% dalam 30 hari!”

Rani berpikir, “Kalau mereka bisa bantu banyak bisnis, pasti bisnisku juga bisa.” Ia pun mendaftar untuk program konsultasi intensif yang ditawarkan. Setelah tiga minggu berjalan, hasilnya memang ada — penjualan meningkat. Hanya saja, kenaikan itu datang bersamaan dengan biaya promosi yang sangat tinggi: iklan digital, influencer, sampling produk, dan desain konten berbayar. Secara omzet, grafiknya menanjak. Tapi secara laba, nyaris tak berubah. “Omzet naik, tapi untung tetap tipis,” keluh Rani.

 

Ketika ia menanyakan strategi jangka panjang agar biaya promosi bisa lebih efisien, konsultan menjawab dengan template yang sama seperti di e-book gratisnya: “Tingkatkan personal branding dan optimalkan CTA.” Dari situ, Rani baru sadar: keberhasilan “naik 300%” yang sering dijadikan materi promosi ternyata hanya kisah satu dari sekian banyak klien — prestasi terbaik yang diangkat seolah menjadi hasil umum. Rani tidak merasa ditipu, tapi kecewa karena ekspektasinya dibangun tidak proporsional. Konsultan itu mungkin tidak berbohong, tapi juga tidak jujur sepenuhnya. Ia hanya memilih menampilkan sebagian kecil cerita yang paling indah, dan menyingkirkan ratusan yang biasa-biasa saja.

 

Dan di sinilah letak persoalan zaman ini:

Kita hidup di era di mana setengah kebenaran sering terlihat lebih indah daripada kejujuran yang utuh.

Ledakan Konsultan Digital dan Ekonomi Janji

 

Kita memang hidup di masa “ekonomi jasa.” Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa pada kuartal pertama 2025, kontribusi sektor jasa terhadap PDB nasional mencapai 53.410 triliun rupiah — naik sekitar 4% dari kuartal sebelumnya (Trading Economics, 2025). Sektor jasa menyerap jutaan tenaga kerja, dari keuangan, teknologi, hingga konsultasi bisnis. Namun, sisi lain dari pertumbuhan itu adalah demokratisasi keahlian. Siapa pun kini bisa tampil, siapa pun bisa “mengajar.” Dan karena media sosial lebih menghargai kecepatan ketimbang kedalaman, muncullah generasi baru yang disebut oleh ekonom Daniel Susilo sebagai “expert by visibility.”

“Yang terlihat banyak dianggap lebih tahu.”
— Daniel Susilo, Indonesia Digital Sociology Review (2024)

Krisisnya bukan di jumlah, tapi di kualitas. Kita sedang menyaksikan inflasi konsultan — di mana “keahlian” menjadi komoditas yang murah diproduksi tapi mahal risikonya. Perbedaan paling mendasar antara menjual barang dan jasa adalah: barang bisa dicicip sebelum dibeli, tapi jasa baru bisa diuji setelah dibayar. Ketika kita membeli minuman, kita tahu rasanya enak atau tidak. Ketika kita membeli nasihat, kita hanya tahu rasa kecewanya di akhir. Dan di sinilah letak krisis etika itu. Dalam industri jasa — apalagi konsultasi — yang dijual bukan produk, tapi kepercayaan. Begitu kepercayaan berubah jadi alat transaksi, maka semua yang tak terlihat jadi rawan dimanipulasi: pengalaman, portofolio, bahkan integritas.

 

Dulu, orang berhati-hati menulis “konsultan” di bio-nya. Sekarang, bio Instagram bisa berisi “business mentor,” “financial expert,” “branding strategist,” hanya karena pernah membuat satu konten viral. Padahal setiap gelar itu membawa beban tanggung jawab sosial. Beban untuk tidak menyesatkan orang. Beban untuk tahu kapan harus berkata, “saya belum tahu.” Kita juga perlu jujur: fenomena ini tidak lahir dari niat buruk semata. Banyak anak muda hari ini tumbuh dalam sistem yang menekan mereka untuk cepat “jadi sesuatu.” Biaya hidup tinggi, lapangan kerja sempit, dan dunia digital memberi mereka jalan tercepat: personal branding.

 

Dalam laporan We Are Social & Meltwater (2024), disebutkan bahwa rata-rata orang Indonesia menghabiskan 3 jam 6 menit per hari di media sosial, dan 79% dari mereka mencari “tips bisnis atau peluang penghasilan” di sana. Kombinasi antara kecemasan ekonomi dan optimisme digital inilah yang akhirnya mendorong banyak orang “menjual keahlian sebelum waktunya.” Mereka tidak jahat — hanya terjebak dalam ekonomi janji: semua orang harus terlihat bisa, sebelum benar-benar bisa. Dan di sinilah “rasa malu” harus dulu berperan. Rasa malu adalah rem moral yang menjaga manusia agar tidak melangkah lebih cepat dari kemampuannya. Kini, rem itu dilepas atas nama percaya diri dan branding pribadi.

 

Maka pertanyaannya bukan, “Bagaimana menyingkirkan konsultan muda karbitan?” Tapi, “Bagaimana menumbuhkan ekosistem belajar yang menghargai proses?” Solusinya bukan pelarangan, tapi pematangan. Kita bisa mulai dari hal kecil:

    • Konsultan digital menyertakan rekam jejak transparan — misal, daftar proyek yang berhasil dan yang gagal.

    • Klien belajar membaca portofolio, bukan hanya testimoni.

    • Platform media sosial mendorong verifikasi profesional berbasis bukti, bukan hanya centang biru.

Lembaga seperti DDTC (Danny Darussalam Tax Center) menunjukkan bahwa kredibilitas masih bisa dipertahankan: mereka mempertahankan posisi Top Tier Tax Consultant Indonesia berdasarkan peer review dan umpan balik klien sejak 2019 hingga kini.
Artinya, sistem profesional yang sehat masih mungkin, asal dijaga dengan integritas dan kesabaran.

 

Mungkin yang kita perlukan bukan regulasi baru, tapi kesadaran lama yang pernah kita punya: rasa malu. Malu untuk mengaku ahli ketika belum cukup belajar. Malu untuk menjual janji yang belum tentu bisa ditepati. Malu untuk mengambil uang orang lain tanpa memberi nilai nyata. Karena pada akhirnya, dunia tidak kekurangan konsultan. Dunia kekurangan orang yang jujur mengakui dirinya masih belajar.

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *